Senin, 26 November 2012

Sisi lain kota kolonial : yang tersisa dari sumbangsih perempuan di Batavia

Sejak awal pembentukannya sebagai kota, Batavia dijadikan pusat penguasa kolonial di Hindia Belanda. Konfigurasi penduduk beserta wilayah pemukimannya sudah berkiblat pada bentuk kemajemukan. Kebiijakan kolonial menetapkan bahwa wilayah-wilayah tertentu dipakai untuk pemukiman penduduk sesuai asal daerahnya. Ada tiga cirri yang perlu diperhatikan untuk dapat memahami struktur ruang lingkup sosiol kota kolonial, yaitu budaya, teknologi dan struktur kekusaan kolonial . Yang patut dicatat dalam usaha Belanda untuk merubah wajah kota adalah adanya Modernisasi di kota Batavia. Modernisasi menjadi hal yang tidak dapat ditawarlagi karena Belanda sengaja ingin menciptakan sebuah kota yang mirip dengan kampong halamannya. Tidak hanya fisiknya saja yang berubah, namu modernisasi yang dibawa dari Belanda juga ikut mempengaruhi gaya hidup sehari-hari masyarakat perkotaan.

Modernisasi yang dibawa Belanda, justru memunculkan budaya baru. Lazimnya, budaya yang muncul pada kota kolonial disebut dengan kebudayaan indis. Budaya ini masih dapat ditemui pada beberapa bangunan yang tersisa dari masa kolonial. Tidak hanya dari sisi arsitektur saja, budaya indis masih dapat dilihat dari mode pakaian atau dari masakan. Tetapi, orang kemudian lupa, bagaimana sebuah kebudayaan bisa muncul, berkembang dan mampu hidup dengan orang-orang masa kini. Sebelum, budaya indis itu muncul, terdapat interaksi yang melibatkan kaum perempuan. Bukan berarti yang melahirkan budaya indis adalah kaum perempuan, hanya saja, perempuan mempunyai peran yang penting dalam terjadinya interaksi antara budaya kolonial dengan budaya pribumi. Interaksi ini menjadi sebuah awal bagaimana sebuah kebudayaan itu saling bertukar unsur atau justru saling bersentuhan.

Pada abad ke 19, sebagian besar laki-laki eropa dan Cina tidak menikahi perempuan lokal yang memiliki hubungan seksual dengan mereka, tapi hubungan seks di luar nikah dan pergundikan sepertinya lebih lazim terjadi. Prostitusi diakui terjadi secara resmi melalui system yang terkendali. Memelihara nyai atau pengurus rumah merupakan hal yang dapat diterima dalam komunitas Eropa dan Cina. Hubungan semacam ini memang tidak pernah disebut-sebut dalam masyarakat Batavia kelas atas, tapi secara tidak resmi hubungan ini dianggap lazim. Banyak tentara eropa tidak mampu menikahi perempuan Eropa, namun mereka memiliki hubungan yang stabil dengan para nyai. Hal ini dianggap lebih baik daripada mereka mengunjungi rumah bordil. Lagipula, dengan cara ini mereka dapat mempelajari bahasa melayu yang merupakan unsur penting dalam hubungan bisnis dan resmi di Batavia. Perempuan-perempuan lokal yang terlibat dalam pergundikan sangat berpengaruh dalam memperkenalkan tradisi-tradisi lokal kepada tuan mereka. Pada saat yang sama, mereka bertindak sebagai perantara budaya dalam masyarakat hindia belanda di Batavia.

Walaupun mereka tidak bisa menikahi tuan-tuan asing mereka, atau terpaksa meninggalkan pelayanan ketika tuan-tuan asing ini kembali ke kampung halamannya, menikah di tempat lain, atau memberhentikan mereka karena mengandung anak yang tidak diinginkan, para nyai biasanya mendirikan bisnis sendiri atau mencari suami baru dari etnis lain dan memperkenalkan gaya hidup baru yang mereka dapatkan dari hubungan pergundikan. Seorang bangsawan Jawa yang berkunjung ke Batavia pada 1869 beranggapan bahwa orang Indonesia di kota ini telah dipengaruhi oleh kebiasaan asing, seperti menggunakan meja dan kursi . Selain menjadi gundik, perempuan pribumi juga dijadikan juru masak, pengasuh anak dan penjahit memberikan pengaruh yang cukup besar dalam terjadinya percampuran budaya Belanda dengan budaya pribumi. Juru masak umumnya mampu menyediakan masakan pribumi juga masakan Eropa. Pada abad 19, rijsttafel menjadi makanan sehari-hari. Para pengasuh berbicara dengan anak-anak Eropa dalam bahasa Melayu, mengajarkan lagu, dan cerita rakyat, serta membesarkan anak dengan cara yang mereka ketahui. Peran para perempuan sebagai pemersatu terlihat jelas disini. Perempuan Eropa atau para gundik menggunakan cenderung menggunakan kebaya putih dengan tepi berenda, sedangkan kebaya perempuan pribumi memiliki ujung runcing, sarung batik mereka pun mempunyai pola tersendiri. Jika peran perempuan pribumi hanya sebatas pada pekerjaan rumah tangga saja, Perempuan- perempuan Eurasia telah menulis buku panduan rumahtangga yang diterbitkan di akhir abad ke-19 mengenai resep masakan dan obat-obatan Hindia.

Kehadiran orang belanda di Batavia disadari telah mempengaruhi gaya hidup masyarakat

Terciptanya sebuah budaya indis tidak terlepas dari peran seniman, arsitek, cendekiawan, rohaniawan dari negri Belanda. (Tetapi, hal ini tidak lantas mengabaikan peran dari pribumi,( dalam bahasan ini perempuan) setempat. Perempuan adalah perantara yang memungkinkan pertukaran persentuhan, serta akulturasi dua kebudayaan yang sangat berbeda.

Bahan bacaan : Djoko Soekiman. Kebudayaan Indis. 2011. Jakarta : Komunitas Bambu Blackburn, Susan. Jakarta sejarah 400 tahun. 2011. Jakarta : Komunitas Bambu

Selasa, 06 November 2012

Menelusuri jejak-jejak cultuurstelsel : beberapa catatan yang tidak layak terbit ?

Banyak sekali buku maupun artikel mengenai Cultuurstelsel yang isinya menggungat tentang kebijakan yang dicetuskan oleh belanda tersebut. Cultuurstelsel selalu diartikan dengan tanam paksa. Padahal jika dilihat dari segi bahasa, istilah “tanam paksa” bukanlah merupakan terjemahan yang tepat untuk cultuurstelsel, yang tepat mestinya adalah Sistem Budidaya tanaman. Tetapi dari segi realitas - menurut P. Swantoro, istilah tanam paksa tepat sekali untuk menerjemahkan culturstelsel. Hal sama juga diungkapkan oleh Peter Boomgard, yang menulis bahwa pada saat diterapkannya cultuurstelsel, masyarakat jawa kurang mendapat rangsangan memadai untuk menghasilkan tanaman perdagangan bagi pasar Eropa, sehingga petani-petani jawa harus dibujuk ( baca : dipaksa) untuk menggunakan sebagian dari tanah garapannya dan sebagian dari tenaga kerjanya untuk membudidayakan kopi, nila dan gula. Begitupula dengan Sartono Kartodirdjo yang amat jelas mengungkap bagaimana bobroknya system yang ditepakan pada rakyat ini. Menurut Sartono, hakikat cultuurstelsel adalah bahwa penduduk sebagai ganti membayar pajak tanah sekaligus, harus menyediakan sejumlah hasil bumi untuk ekspor seperti yang diinginkan pemerintah. Serangan akan cultuurstelsel juga datang dari seorang asisten residen di Lebak, Edward Douwes Dekker yang melayangkan gugatan dalam sebuah novel yang berjudul Max Havelar. Dalam halaman terakhir novel itu, multatuli-begitu nama samarannya, menulis, “Dan kepada tuan saya mempersembahkan buku ini, Willem III, raja, adipati besar, pangeran dan kaisar dari Insulinde yang cantik dan kaya, Jamrud Khatulistiwa, karena di tempat itu lebih dari 30 juta rakyatmu dianiaya dan diperas atas nama tuan,”.

Begitulah sejarah cultuurstelsel selalu ditempatkan sebagai bagian sejarah kelam Hindia Belanda. Di beberapa buku atau artikel yang telah diterbitkan kebanyakan membahas tentang dampak negative cultuurstelsel bagi rakyat Hindia Belanda. Padahal jika membaca artikel dari C. Fasseur yang berjudul The Cultivation system and its impact on the dutch colonial economy and the indigenous society in nineteenth century in java, cultuurstelsel tidak selalu menimbulkan dampak buruk. C. fasseur mengungkapkan bahwa di daerah tertentu misalnya di Jawa Timur, system ini justru dapat meningkatkan kemakmuran. Ledakan penduduk yang terjadi pada masa itu, menurut C. Fasseur juga merupakan kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa saja disebabkan oleh “the Cultivation system”.

Senada dengan apa yang diungkapkan C. Fasseur, Denys Lombard mengungkapkan bahwa peningkatan jumlah penduduk merupakan suatu gejala yang jauh lebih luas yang terdorong oleh konjungtur luar biasa dari dua revolusi siderurgi ( pengolahan besi ) dan revolusi kesehatan. Jika Eropa mengalami revolusi siderurgi sejak abad ke-11 bersamaan dengan pembukaan hutan secara besar-besaran dan revolusi kesehatan sejak abad ke 18. Di jawa- menurutnya- kedua revolusi itu terjadi serempak, yang memang merupakan akibat tidak langsung dari sitem kolonial, tetapi tanpa disadari oleh penguasa kolonial.

Fakta lain yang terungkap mengenai cultuurstelsel dapat ditemukan dalam tulisan A.M Djuliati Suryo, dalam bukunya ia mengunggap tentang cultuurstelsel di daerah Kedu. Menurutnya, System cultuurstelsel dianggap lebih maju dibanding dengan system feodal di mataram. Selain tanah, tenaga kerja dan modal rakyat, pemerintah memasukkan unsur-unsur baru seperti organisasi produksi, modal, tekologi barat (pabrik-pabrik) dan pengusaha swasta. Cultuurstelsel mulai dilaksanakan di Kedu sejak tahun 1831 dengan penanaman kopi secara besar-besaran yang juga menngerahkan tenaga rakyat. Hal ini ternyata mengakibatkan pembangunan berantai untuk mendukung usaha besar ini. Terjadilah suatu pembangunan berantai untuk mendukung usaha besar ini. Jalan-jalan penting perlu diperkeras atau diperlebar demi kelancaran arus angkutan kopi. Apabila di tahun 1812 jalan raya di Kedu hanya 45 km, tanpa fondasi dari batu, tahun 1870 jalan tersebut telah menjadi 216 km dengan fondasi batu dan kerikil sebagai pengeras.

Setiap kebijakan sudah pasti menimbulkan pro dan kontra, begitu juga dengan kebijakan cultuurstelsel. Yang menarik, ternyata cultuurstelsel adalah sebuah kebijakan kelam yang sudah terlanjur lekat dalam memori kolektif bangsa Indonesia. Sehingga belum begitu banyak ditemukan tulisan-tulisan yang mengungkap tentang sisi lain dari Cultuurstelsel. Padahal, bisa saja, fakta dilapangan tidak selalu seperti itu (seperti apa yang terungkap dari tulisan dari C. Fasseur). Kemudian, muncul sebuah pertanyaan mendasar. Apakah yang sebenarnya terjadi pada masa cultuurstelsel?benarkah kebijakan tersebut hanya memberikan dampak negative bagi rakyat? Ataukah mungkin, ada yang sengaja ditutup rapat dari penulisan-penulisan terdahulu yang terlanjur buta dengan nasionalisme yang terlalu berlebihan.

Bahan bacaan : C. Fasseur . The Cultivation system and its impact on the dutch colonial economy and the indigenous society in nineteenth century in java P. Swantoro. Dari buku ke buku : sambung menyambung menjadi satu. Jakarta. KPG. 2002 Boomgard, Peter. Anak Jajahan Belanda.jakarta. KITLV.2004 Sartono, kartodirdjo. Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah pergerakan nasional. Jakarta . PT Gramedia, 1990 Lombard, Denuys. Nusa Jawa : Silang Budaya batas-batas pembaratan. Jakarta. Gramedia pustaka utama. 1996 A.M. Djuliati Suroyo. Eksploitasi kolonial abad XIX. Yogyakarta. Yayasan untuk Indonesia, 2000 Multatuli. Max Havelaar. Bandung. Percetakan Karya Nusantara. 1972

Tumbuh suburnya mitos dalam sejarah Indonesia

Kolonialisme Belanda di Indonesia sudah sering ditulis dalam buku-buku sejarah terjadi selama 350 tahun. Dihitung sejak kedatangan Belanda di Indonesia. Onghokham mengutuk keras pandangan ini dan mencoba menguraikan bahwa pada awal mulanya, Belanda dalam hal ini datang hanya berdagang, pada saat itu pula, masih ada kekuasaan lokal yang berkuasa. Kolonialisme yang terjadi di Indonesia terjadi tepatnya setelah VOC bangrut dan kemudian wewenang VOC diambil langsung oleh pemerintah Belanda. Dan itu tidak ada 350 tahun. Penjajahan 350 tahun yang sering ditulis di buku-buku sejarah tidak terbukti kebenarannya. Tetapi, hal ini sudah terlanjur melekat dalam ingatan bawah sadar masyarakat Indonesia. Hal inilah yang kemudian dikatakan Onghokham sebagai mitos.

Dalam artikel ini, Onghokham membahas tentang “mitos” yang ada dalam sejarah Indonesia. Mitos menurut Onghokham tidak hanya berkisar tentang peristiwa-peristiwa luar biasa yang dialami manusia seperti mitos yang ada dalam pararaton, atau mitos dalam babad tanah jawi, tetapi jika boleh memberikan sedikit argument, mitos yang coba diuraikan Onghokham dalam artikel ini, sepertinya mirip dengan pengertian mitos menurut Locher.

Menurut Locher yang dikutip P. Swantoro, mitos menunjuk wahana bahasa pada peristiwa-peristiwa yang dipandang oleh manusia sangat essensial bagi eksistensinya, yang memberi arti (bagi manusia tersebut-red) pada masa sekarang, masa lalu, dan masa depan sekaligus. Dengan demikian, pentingnya “mitos” tidak tergantung apakah kisahnya mempunyai makna atau tidak menurut penglihatan kita. Peranan mitos tidak juga tergantung pada apakah kisahnya betul-betul terjadi menurut pengetahuan ilmiah kita.

Selain dari artikel The myth of colonialism in Indonesia : Java and the rise of Dutch colonialsm, dalam artikel lain yang berjudul Revolusi Indonesia : Mitos dan Realitas, Onghokham juga masih menyinggung tentang tumbuh suburnya “mitos” dalam sejarah indonesia. Menurutnya, Revolusi kemerdekaan yang berlangsung sejak akhir tahun 1945 hingga akhir tahun 1949 akan tetap menjadi mitos dalam memelihara dan mendorong nasionalisme pada masa sekarang maupun masa-masa yang akan datang. Begitu pentingnya makna revolusi bagi eksistensi masyarakat bangsa dan Negara Indonesia, menjadi sesuatu yang dimitoskan, maka akan selalu ada bahaya bahwa revolusi itu dipergunakan oleh berbagai pihak untuk mencati legitimasi atas kedudukan atau perannya di masa kini, dan di masa depan, misalnya dengan mengklaim bahwa pihaknyalah yang paling berperan atau paling menentukan keberhasilan revolusi tersebut. Jadi secara politik, ada bahaya bahwa makna revolusi dimanipulir untuk tujuan-tujuan politik praktis oleh kelompok tertentu. Bahaya dari itu adalah bahwa fakta atau proses sejarah dipakai seenaknya saja oleh tokoh politik, cendekiawan dll. Hal ini akan mengaburkan pandangan masyarakat mengenai kedudukan ilmu sejarah dan konsepsinya mengenai sejarah.

Dengan menyadari bahwa mitos sangat lekat sekali dengan sejarah, dan mitos memang sering dimanfaatkan kelompok tertentu untuk mencari legitimasi, tetapi tidak lantas membuat kita menjadi antipasti terhadap keberadaan mitos, karena disadari atau tidak, mitos yang muncul dalam masyarakat mencerminkan mentalitas masyarakat pada masa itu. Mitos, legenda populer, konsepsi-konsepsi mengenai gama, kepercayaan moral dan sebagainya, mencerminkan fakta social. Jadi, mitos masih sangat berguna dalam historiografi kita. Ada baiknya sejarahwan harus cerdas saat harus memberi jarak antara mitos dan realita- antara sastra dan fakta. Sejarahwan harus lebih peka dalam memberi arti dalam setiap peristiwa sejarah. Akan tetapi, sejarahwan tetap tidak dapat seenaknya mengubah sejarah.

Bahan bacaan : The myth of colonialism in Indonesia : Java and the rise of Dutch colonialsm, Onghokham P. Swantoro, Dari Buku ke Buku : Sambung menyambung menjadi satu . (Jakarta,2002) Onghokham, Revolusi Indonesia : Mitos dan Realitas dalam majalah Prisma no.8 tahun 1985 Onghokham, Wahyu Yang Hilang Negeri Yang Guncang ( Jakarta, 2003) Kuntowijoyo. Metodologi sejarah,( Yogyakarta,2003 )

Memberi ruang kepada cerita tentang subaltern

Sangat menarik ketika menyimak tulisan David Henley, Carriying capacity, climatic variation, and the problem of low population growth among Indonesian swidden fanfiers evidence from north sulawesi . Dalam tulisannya tersebut David Henley mencoba untuk menjelaskan tentang populasi di Sulawesi utara, Gorontalo dan Minahasa. Perhatian khusus David Henley diberikan pada factor lingkungan seperti iklim, tanah, dan penyakit yang kemudian mempengaruhi populasi penduduk Sulawesi pada masa itu.

David Henley membahas tentang hubungan pengaruh antara ketahanan pangan dan laju populasi penduduk di Sulawesi Utara pada abad ke 19. Misalnya , ketika lahan padi dialih fungsikan menjadi lahan kopi, maka terjadi ganguan pangan. Rakyat menjadi kelaparan, inilah yang diduga oleh David Henley. David Henley juga membahas mengenai adanya kaum Misionaris, dimana mereka melakukan politik terselubung. Politik tersebut erat kaitannya dengan kolonialisme di abad tersebut. Politik terselubung tersebut terlihat ketika David Henley coba menghubungkan antara penyakit cacar dengan misionaris. dengan adanya penyakit cacar, para Misionaris ini melakukan pengobatan. Tidak berhenti sampai disini saja, setelah melakukan pengobatan, para misionaris kemudian melakukan kristenisasi penduduk setempat. Hal ini sesuai dengan cita-cita gospel yang mereka bawa. Jika dibandingkan dengan tulisannya Anthony Reid, Asia Tenggara dalam kurun niaga 1450- kedua tulisan ini m$erupakan tulisan yang menarik karena tema sejarah yang diangkat tidak hanya terpaku pada kehidupan politik, raja dan perang, akan tetapi sejarah ditulis sangat total karena menyangkut semua aspek kehidupan. Sejarah yang coba ditampilkan oleh David Henley ini berdimensi multidisipliner. Disini, David Henley brhasil menggabungkan antara sejarah geografi dengan sejarah demografi. David Henley tidak hanya berhasil menghubungkan antara sejarah geografi dan juga sejarah demografi. Namun, David Henley juga membahas tentang kondisi perekenomian pada masa itu.

Tulisan ini semakin layak untuk dikaji dan dipelajari , karena selain dari kepiawaian David Henley dalam menghadirkan data-data demografi kemudian dipadukan dengan sejarah geografi, David Henley juga menjadikan tulisan ini menjadi salah satu contoh tulisan yang mencoba mendengarkan suara kaum subaltern, dimana David Henley berusaha untuk menghadirkan ruang yang diisi kaum subaltern dalam tulisannya. Kaum subaltern ini meliputi kaum-kaum marjinal, seperti penduduk biasa yang hampir tidak pernah dituliskan sepak terjangnya dalam sejarah. Mereka seolah-olah tidak memiliki suara dalam historiografi. Mereka seolah-olah dibungkam dalam sejarah. Ironisnya, Mereka memang tidak pernah bersuara karena mereka memang tidak punya suara. sejarah hanya memberikan tempat bagi tokoh-tokoh besar, Negara, ataupun sesuatu yang dipahami secara politik. Padahal, seharusnya siapapun yang mempunyai masa lalu, maka dia berhak untuk memiliki sejarahnya sendiri.

the birth of abangan-the birth of putihan

Pada dasarnya, tidak ada masyarakat tanpa klas. Begitupun, dalam masyarakat jawa. Di jawa, terdapat stratifikasi social yang sebenarnya tidak begitu jelas nampak. Tetapi, dengan tegas, Clifford Geertz berani mengkotak-kotakkan masyarakat jawa menjadi tiga bagian, yaitu Santri, abangan, dan Priyayi. Hal ini disetujui oleh ricklefs dalam artikel yang berjudul “ The Birth of Abangan,” walaupun dengan jelas, Ricklefs lebih sepakat untuk pembagian dikotominya adalah antara putihan dan abangan saja. Karena menurut Ricklefs, kata santri hanya akan mewakili salah satu bagian dari orang alim saja, yaitu bagi mereka yang belajar di pesantren, sedangkan untuk menjadi alim bisa dilakukan tidak hanya dengan belajar di pesantren saja. kata putihan cakupannya bisa lebih luas lagi. Sedangkan abangan, adalah mereka yang dekat dengan unsur-unsur mistis jawa.

Terlepas dari pemikiran Clifford Geertz dan juga Ricklefs, perlu dicermati perkembangan kelompok masyarakat dalam stratifikasi yang terdapat dalam masyarakat jawa, baik abangan maupun putihan, menimbulkan gejolak perubahan social yang sebelumnya tidak pernah ada di abad-abad sebelumnya.

Kaum putihan yang lebih terpelajar dibanding kaum abangan , pada abad 19 berusaha membuat perubahan. Dengan pemahaman yang lebih, dengan ideology islam yang sangat kuat mengakar, kaum putihan kemudian berhasil menggunakan pemahamannya, untuk dijadikan kekuatan untuk melawan kafir. ( baca : barat). Sejak saat itu, kemudian muncullah beberapa gerakan protes di jawa yang beberapa diantaranya menggunakan ideology islam.

Terbukanya terusan zues (1869 ) berakibat semakin banyaknya. Masyarakat yang menunaikan ibadah haji. Dan dari haji-haji inilah kemudian didapatkanlah gagasan Pan Islamisme. Pan Islamisme adalah gagasan untuk menyatukan umat islam dibawah kekhalifahan. Mengadaptasi ideolgi ini, kaum putihan berhasil menanamkan perspektif kepada pribumi, bahwa barat-kolonial adalah kafir yang harus dibasmi. Tidak hanya barat saja, tetapi kroni-kroninya-yang bekerja sama dengan barat harus disingkirkan. Pan Islamisme kemudian di sampaikan para haji kepada ulama sehingga gagasan tersebut dapat di teruskan lagi ke lapisan yang lebih bawah.

Oleh karena itu, di tahun-tahun tersebut terjadi transformasi kaum putihan. Pada masa itu, ulama sudah merupakan salah satu penggerak adanya perubahan social pada masa itu. Dialah broker- seperti dikatakan kuntowijoyo. Dialah broker kekuatan social dan politik masyarakat. Sementara para haji, berfungsi sebagai “kaum intelektual” dan broker kebudayaan bagi massa desa. Sementara para petani dan pedagang , bertindak sebagai pendukung dan pengikut yang setia, yang berada di lapisan terbawah di dalam struktur itu.

Memberi benang merah antara tulisan Clifford Geertz, Ricklefs serta Fahri Ali, bahwa teori yang dikemukakan oleh Clifford Geertz yang pada awalnya diragukan substansinya, ternyata teori tersebut masih sangat relevan jika digunakan untuk mengkaji masyarakat jawa bahkan sampai sekarang pun. Tentu saja, di setiap jamannya teori ini mengalami sedikit pergeseran. Berkenaan dengan semakin berkembangnya peradaban, masyarakat jawa yang di kaji pun semakin hari semakin kompleks. Jika pada awalnya dikotomi antara santri, abangan, dan priyayi hanya didasarkan pada cirri-ciri fisik atau kesehariannya, pada abad 19-dan permulaan abad ke 20, dikalangan santri-putihan-pada khususnya—sudah memiliki peran di kehidupan politik. Sedangakan, sekarang masih ditemukan sisa-sisa pemikiran Clifford Geertz di beberapa tempat di jawa tersebut. Jika kita bicara tentang abangan, tentu saja tidak bisa dilepaskan dengan kejawen, jika kita bicara tentang santri—putihan tentu saja sekarang banyak sekali ditemukan banyak masyarakat Indonesia yang bisa digolongkan dalam santri ini. Dan jika kita menanyakan tentang elit priyayi, tentu saja, di jawa, di Surakarta maupun di Jogjakarta misalnya masih bisa ditemukan elit ini.

Menyoal historiografi dari oriantalis sampai indonesiasentris

Sudut pandang, teori, maupun metodologi yang digunakan dalam historiografi sangat mempengaruhi kebenaran fakta sejarah yang akan disuarakan dalam penulisan sejarah. Sebagai contoh, jika sejarahwan menggunakan cara pandang orientalisme maka historiografi yang akan dihasilkan akan menyuarakan dominasi atau superioritas barat terhadap ketidakberdayaan atau inferioritas timur baik sebagai imperialism maupun kolonialisme. Oriantalisme sering diartikan sebagai cara pandang dunia barat mengenai keeksotisan dunia timur. Orientalisme mengungkapkan dan merepresentasikan bahwa budaya timur merupakan bagian tak terpisahkan dari budaya barat, karena barat beranggapan bahwa timur merupakan daerah jajahan terbesar mereka Atau dengan kata lain, cara pandang orientalisme digunakan untuk menata ulang, mendominasi, dan menetapkan kekuasaan barat terhadap dunia timur. Bagi penganut paham ini, orientalisme dianggap sukses dalam menyajikan tulisan sejarah yang apik karena dapat memberikan gambaran geo-politis ke dalam teks- teks estetika, keilmuan, ekonomi, sosiologi, sejarah dan filologi. Dalam artikel “Kolonialisme dan Kebudayaan” Nocholas B Dirk mencoba menguraikan beberapa tulisan sejarah yang ditulis dengan menggunakan sudut pandang oriantalisme. Misalnya dalam novel A passage to India karangan E.M Forster, Nicholas B Dirk beranggapan bahwa Forster mampu menghadirkan sebuah novel etnografi kolonialisme inggris di India. Nichoals B Dirk juga setuju dengan gagasan yang disampaikan oleh Marx, Benjamin, Gramsci, William, Foucault, Derrida dan Said yang membuatnya memahami kolonialisme sebagai pokok soal yang penting menurut hak nya sendiri dan sebagai metafora untuk hubungan yang halus-pelik- antara kekuasaan dan pengetahuan serta kebudayaan dan pengontrolan.

Penganut oriantalis berhasil menyajikan sisi lain pengertian kolonialisme yang berbeda. Jika dalam kaca mata timur, kolonialisme selalu diartikan sebagai sesuatu yang tidak baik, penjajahan, perampasan hak, perengutan kebebasan yang terjadi pada masa lalu sehingga menimbulkan persepsi bahwa dunia sekarang adalah dunia pasca kolinialisme yang merdeka dari imperialis, orintalis justru menilai bahwa bisa saja kolinialisme tetap terus hidup dengan cara baru yang barangkali tidak kita ketahui.

Berbeda dengan kaum orintalis. Pendekatan yang digunakan dalam penulisan sejarah Indonesia biasanya mengacu pada pendekatan Indonesiasentries. Pendekatan Indonesiasentries ini mucul lantaran banyak sekali ditemukan penulisan sejarah gaya orintalis yang lebih dominan menceritakan superior barat akan dunia timur. Munculnya pendekatan Indonesiasentries juga diharapkan dapat melengkapi fakta-fakta sejarah yang terlanjur dihilangkan oleh penganut orintalisme. Konsekunsi logisnya, pendekatan ini menempatkan pribumi sebagai actor utama dalam penulisan sejarah.

Namun, bukan berarti Historiografi Indonesiasentris lolos tanpa cacat, lahir dan sempurna begitu saja, dalam Kesadaran Dekonstruktif dan Historiografi Indonesiasentris, Bambang Purwanto menjelaskan bahwa pada awalnya, historiografi Indonesiasentris kebanyakan menampilkan sifat nasionalisme yang berlebihan dan lebih mengandalkan retorika sehingga kebenaran fakta yang dihadirkan dipertanyakan. Selain itu, historiografi Indonesiasentris juga erat kaitannya dengan wacana kolonial yang paradoks dengan wacana colonial yang coba disajikan kaum orintalis. Imbasnya, historigrafi Indonesiasentris biasanya belum sepenuhnya dapat menghadirkan keberaan rakyat sebagai pembahasan utama dalam sejarah. Sejarah masih bersifat milik penguasa atau sesuatu yang mempunyai dampak besar pada masa itu, sehingga historiografi Indonesia sering mengabaikan peran orang pinggiran. Jika sudah begini, Historiografi Indonesiasentris tak ubahnya dengan historiografi yang dianut orientalis karena dalam historiografis Indonesiasentris mengesampingkan peran inferior(orang pinggiran) , dan hanya memberikan ruang bagi superior (Negara) untuk menceritakan sejarahnya sendiri.

Padahal, jika dicermati lebih lanjut, meskipun orang pinggiran tidak mampu berbuat banyak, tidak melakukan perubahan pada level pemerintahan ataupun politik, tetapi sebenarnya kehidupan orang pinggiran dan kaum-kaum lain yang tersisihkan dalam historografi Indonesiasentris dapat dijadikan salah satu tema kajian para sejarahwan yang dapat memberikan warna baru dalam historiografi indonesiasentris. Pengkajian ini penting dilakukan karena hakikat sejarah adalah rekam peristiwa bagi siapapun yang mempunyai masalalu, tidak hanya orang besar, tetapi juga termasuk orang-orang pinggiran yang terlupakan serta tersisihkan. Jika wacana orang pinggiran dapat dihadirkan oleh sejarahwan dalam historiografis Indonesiasentris, tidak mustahil akan muncul historigrafi Indonesia yang lebih baru, yang dapat menggambarkan keadaan sebenarnya dari bangsa Indonesia.

Natural History : sumbangsih orang british terhadap historiografi Indonesia

Review : Mary Chaterine Quilty. Textual Empires : a Reading of Early British Histories of South East.

Karena Indonesia dikuasai Belanda, maka banyak dugaan yang sering muncul bahwa sumber tertulis dan documenter tentang sejarah modern Indonesia ditulis dalam Bahasa Belanda. Tentu saja benar bahwa dibandingkan dengan bacaan Belanda yang luas sekali itu sumbangan berbahasa Inggris terhadap penelitian tentang Indonesia tidak banyak. Namun hendaknya, orang tidak lupa bahwa awal yang serius dari historiografi Indonesia terutama bukan terdapat pada karya-karya para ahli ketimuran yang pertama di Leiden, melainkan dalam buku sejarah tebal yang diterbitkan oleh para sarjana Inggris seperti Marsden, Raffles, dan Crawfurd. Karya-karya mereka merupakan suatu kumpulan yang mengesankan dari bahan documenter Inggris mengenai berbagai segi sejarah Indonesia. ( Soedjatmoko, dkk : 1995)

Mary Catherine Quilty dalam Textual Empires, khususnya di Bab 1, Natural Histories : New Ways of Knowing, membahas tentang bagaimana orang-orang british seperti Symes, Marsden, Raffles, Crawfurd dan Anderson menuliskan dan mempublikasikan pengetahuan tentang Asia Tenggara. Mereka meyakini bahwa tesk-teks mereka dapat meningkatkan pengetahuan baru masyarakat dunia tentang Asia Tenggara. Tulisan Marsden, tentang History of Sumatra, kemudian Raffles dengan History of java, dan tulisan Symes, serta Anderson,sangat menarik karena tema yang dipilih adalah tema yang dekat lingkungan, alam dan kehidupan masyarakat. ditulis dengan metode ilmiah yang berkembang saat itu, sehingga diniliai bahwa tulisan mereka adalah tulisan yang paling objektif.

Namun, jika dicermati Dari sisi historiografi, keempat penulis Inggris tersebut, memiliki kesamaan. Walaupun mengambil tema yang berbeda, namun keempatnya sama-sama menulis dengan sudut pandang orang eropa dan umumnya mereka menulis tentang Asia Tenggara, mempunyai ideology tersendiri. Berkaitan dengan keinginan Eropa untuk melakukan kolinialisasi di Asia, maka tulisan mereka terhadap asia tenggara berusaha untuk mempresentasikan kekayayaan, keeksotisan Asia. Ini kemungkinan juga akan menjadi pertimbanagan apakah sebuah daerah pantas atau tidak untuk diekpsloitasi.

Umumnya, orang-orang Perancis dan Inggris ( begitu pula orang Jerman, Rusia, Spanyol Portugal, Italia dan Swiss ) memandang dunia Timur berdasarkan suatu tadisi yang mereka yakini selama ini. Tradisi tersebut bernama orientalisme, suatu cara untuk memahami dunia Timur yang didasarkan pada keeksotisannya di mata orang Eropa. Bagi orang-orang Eropa, Timur tidak hanya bersebelahan dengan kawasan mereka. Lebih dari itu, orang Eropa selalu menganggap Timur sebagai jajahan mereka yang terbesar, terkaya, dan tertua selama ini. Timur juga dianggap sebagai sumber bagi peradaban dan bahasa Eropa, saingan atas budaya Eropa dan sebagai bagian dari imajinasi Eropa yang terdalam. Timur adalah “yang lain” ( the other ) bagi Eropa. ( Said, 2010). Konsekuensi logis yang muncul dari cara pandang orientalisme ini adalah menimbulkan pandangan bahwa barat adalah superior, sedangkan Timur adalah inferior. Oleh karena itu, penulisan Sejarah Asia Tenggara tidak lagi dilihat secara objektif, karena sejarah ditulis berdasarkan satu sudut pandang saja. Tidak mengherankan kemudian bila ditemukan dalam tulisannya, Anderson menyebut tentang adanya “kanibalisme” di Batak, atau mungkin juga pandangan penulis yang lain tentang dunia bar-bar untuk merepresentasikan dunia Timur.

Tetapi, terlepas dari cara pandang orientalisme yang digunakan para peneliti inggris terssebut, baik Symes, Marsden, Raffles dan Anderson telah menyuguhkan suatu historiografi yang menarik, dimana tema-tema politik tidak lagi menjadi pilihan utama dalam tulisannya. Lebih dari itu, walaupun dengan beberapa kekurangan dalam penyajian tulisannya, misalnya buku History of Java nya Raffles yang terkesan hanya menuliskan data-data saja, tanpa ada pemaknaan terdapat fakta, namun para peneliti Inggris ini setidaknya telah melampaui apa yang telah dihasilkan sejarahwan Indonesia pada masa sekarang, bahwa sejarah tidak hanya ditulis berdasarkan tema politik saja, tetapi sejarah bisa juga meliputi beberapa aspek mikro yang sering terlupakan dari pandangan orang-orang Indonesia itu sendiri.

Daftar bacaan : Quilty, Mary, Textual Empires.. (Australia : monas university. 1998) Soejatmoko,dkk, Historiografi Indonesia : Sebuah Pengantar (Jakarta : PT Gramedia Pustaka, 1995) W. Said, Edward. Orientalisme. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010 )

Menghargai sejarah seperti Van Leur

Review : Abad ke-18 sebagai kategori dalam penulisan Sejarah Indonesia,

Historiografi kolonial dikuasai oleh pandangan yang etnosentris. Semua peristiwa berkisar sekitar kerajaan dengan raja sebagai pusatnya serta apa yang terjadi diluar itu jarang disinggung. Tidak boleh dilupakan pula bahwa dalam lingkungan sosio-kultural dari historiografi tradisional itu pada cerita sejarah ada kekuatan religio-magis, maka tidak ditinjau secara kritis. ( Sartono Kartodirdjo, 1992). Historiografi kolonial ditulis oleh orang-orang Belanda dengan menggunakan arsip Belanda sehingga tulisan yang dihasilkan ditulis menggunakan cara pandang eropasentris. Tetapi, berbeda dengan Van Leur, dia mampu menyajikan sejarah dengan cita rasa pribumi- dengan penghargaan kepada timur yang sebelumnya tidak pernah dilakukan oleh barat.

Dalam artikel Abad ke-18 sebagai kategori dalam penulisan Sejarah Indonesia, menurut Richard Z. Leirissa, Van Leur membuat tandingan atas karya Dr. Godee Molsbergen yang merupakan jilid yang keempat dari “ Geschiedenis van Nederlandsch-Indie. Dalam karya tersebut, Godee Molsbergen mengemukakan bahwa sejarah VOC dalam abad kedelapanbelas merupakan refleksi dari sejarah negri Belanda yang ketika itu telah muncul sebagai kekuatan yang menentukan Eropa. Van Leur menyanggah pendapat ini dan mengatakan bahwa abad kedelapanbelas tidak berbeda dengan abad ketujuhbelas, baru dalam abad kesembilanbelas, Eropa menunjukkan keunggulannya. Selain menyanggah hal tersebut, yang paling menarik dalam tulisan ini adalah Van Leur menunjukkan bahwa dengan menggunakan sumber VOC dapat disusunlah sebuah historiografi yang tidak melulu memihak kolonial. Sebuah perspektif yang sangat berbeda dengan historiografi kolonial jaman itu.

Kritik Van Leur misalnya mengenai perekonomian. Van leur mampu membuktikan dalam tulisannya bahwa kenaikan ekspor barang-barang pada saat itu diserap oleh Asia dan Indonesia tanpa kompeni ambil bagian. Van luer mencoba menulis dengan perpektif lain di jaman itu, bahwa sebenarnya ada garis yang semakin naik , kurve yang terus menanjak di seluruh abad ke-18, bahkan naiknya lebih tepat akibat penambahan perdagangan Eropa yang lebih kuat selama pertengahan kedua abad tersebut. Kemudian dalam tulisannya Van Luer juga berani mensejajarkan orang-orang pribumi seperti Mangkubumi, Mas Sahid, Tjakraningrat dengan tokoh barat seperti speelman. Hal ini yang tidak pernah dilakukan barat sebelumnya.

Melihat tulisan Van Leur sebenarnya hal inilah yang perlu dilakukan oleh sejarahwan-tidak pandang bulu sejarahwan Indonesia ataupun sejarahwan asing. karena permasalahan klasik dalam sejarah adalah sudut pandang penulisan. Dimana setiap bangsa akan menulis sejarahnya sesuai dengan sudut pandang bangsanya itu sendiri. Sehingga yang dihasilkan adalah sejarah yang berusaha memaksakan paham nasionalisme untuk merasuk dalam tulisannya, imbasnya, sejarah tidak akan pernah berusaha untuk melihat dari dua sisi. Tidak akan pernah ada keadilan dalam sejarah. Tetapi, belajar dari Van Luer, belajar bahwa dia bisa menulis dengan kacamata bangsa lain, sepertinya hal ini perlu dicontoh oleh sejarahwan masa kini.

Tidak mungkin tidak kita melihat historiografi kolonial sebagai salah satu sumber penulisan kita. Karena suka tidak suka historiografi kolonial adalah bagian dari historiografi Indonesia ( Bambang Purwanto, 2006) ataupun tidak boleh juga kita terpaku pada keinginan untuk menandingi historiografi kolonial dengan terlalu berlebihan dalam menyisipkan paham nasionalisme, lebih dari itu, ada baiknya melihat sejarah dari dua sisi. Sisi kolonial- dan juga sisi Indonesia, karena dengan begitu, sejarah akan ditulis bukan hanya sebagai ajang balas dendam saja. Tidak ada yang salah dengan masalalu-sejarah. masalalu-sejarah bisa benar ataupun salah adalah bagaimana memaknainya.

Bambang Purwanto. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris ( Jogjakarta : Ombak, 2006) Sartono Kartodirdjo. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia.( Jakarta : PT Gramedia, 1992) J.C Van Leur. Abad ke-18 sebagai kategori dalam penulisan sejarah Indonesia ( Jakarta : Bhatara Jakarta, 1973 )

Ruang politik dalam hikayat Hang Tuah : Hikayat me(di )nggugat!

Perkembangan historiografi sekarang yang memperbolehkan penggunaan sumber-sumber tradisional sebagai sumber sejarah telah memberikan angin segar bagi dunia historiografi. Dewasa ini, mulai ditemukan sejarahwan yang mulai berani menggunakan sumber lokal sebagai sumber penelitiannya. Walaupun, sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam sumber lokal sering kali diketemukan cerita-cerita yang bersifat khayali, namun sumber lokal masih merupakan rujukan sejarahwan dalam melakukan pelacakan jejak sejarah.

Sumber tradisional digunakan untuk melengkapi ruang-ruang kosong yang tidak bisa diisi dengan sumber lain yang telah digunakan. Karena, dalam sumber tradisional, hikayat misalnya dapat memberikan gambaran tentang kehidupan politik dan social, bahkan tentang beberapa aspek kehidupan sehari-hari.

Artikel Ruang Politik dalam Hikayat Hang Tuah membahas tentang ruang-ruang politik Kesultanan malaka yang dikunjungi Hang Tuah. Tulisan ini sangat menarik, karena Hendri Chambert-Loir dalam meneliti tentang perjalanan politik yang dilakukan Hang dengan membandingkan antara perjalanan Hang Tuah dalam Hikayat Hang Tuah dengan beberapa sumber lain misalnya Sulalat al-Salatin alias Sejarah Melayu. Daya tarik dalam tulisan ini adalah bagaimana Hendri Chambert-Loir menemukan perbedaan-perbedaan serta kontradiksi-kontradiksi dalam sumber rujukan utama dalam sejarah melayu, dan kemudian dia mencoba untuk memperbandingkannya tanpa terburu-buru melakukan justifikasi manakah sumber yang merujuk ke fakta maupun ke fiksi. Tentu saja, sumber yang paling banyak dikaji adalah sumber Hikayat Hang Tuah, dan tanpa menggabaikan sumber lain, Hendri Chambert-Loir berusaha untuk melakukan interpretasi serta menggabungkan kedua sumber, dan tidak mempermasalahkan hikayat yang berisi banyak muatan cerita yang khayali, sehingga kedua sumber yang digunakan dapat saling melengkapi, dan dapat sedikit mengisi ruang kosong yang ditinggalkan sejarahwan yang lalu.

Salah satu Kontradiksi yang berusaha dimunculkan Hendri Chambert-Loir adalah misalnya dalam Hikayat Hang Tuah, tokoh utama Hang Tuah melakukan banyak perjalanan politik Misalnya, di Melayu, Hang Tuah mengunjungi negri Pahang, Terengganu,Lingga, Singapura, bahkan, perjalanan Hang Tuah mencapai Tiongkok, India Selatan, Tanah Suci, Mesir dan Turki. bahkan Hang Tuah lah yang memegang peran utama dalam semua misi dan perjalanan tersebut, Sedangkan dalam Sulalat al-Salatin, alias Sejarah Melayu, Hang Tuah hanya mengunjungi beberapa negeri saja, bahkan tidak pernah memimpin utusan sendiri.

Hendri Chambert-Loir menyadari bahwa dalam hikayat, fakta dan fiksi tercampur dalam narasi yang panjang,dan hampir sulit dibedakan antara kenyataan dan khayalan- yang sebenarnya memungkinkan untuk dilakukan identifikasi satu persatu, tetapi Hendri Chambert-Loir lebih memfokuskan pada permasalahan dasar hikayatnya . Baginya, yang terpenting dalam sumber Hikayat Hang Tuah dapat mengungkapkan bahwa melalui cerita hikayat tersebut, kerajaan malaka berusaha untuk membangun jaringan terhadap Negara-negara lain. Jaringan ini tidak hanya dimaksudkan untuk perdagangan saja, tetapi lawatan yang dilakukan Hang Tuah ini, juga bersifat politis. Misalnya, disuatu bab, diceritakan tentang lawatan Hang Tuah ke Majapahit. Lawatan ini akhirnya diakhiri dengan pernikahan antara Sultan Malaka dengan putri majapahit raden Galuh Emas. Konsekuensi dari pernikahan ini, kelak Raden Bahar, putra sulung sultan malaka menjadi raja di Majapahit menggantikan kakeknya yang meninggal dunia. Sehingga hierarki antara kedua kerajaan itu terbalik. tetapi, pada bagian ini, Hendry Chambert-Loir kurang jeli dalam memberikan penekanan pada maksud raja malaka menikahi putri majapahit. Padahal pernikahan politik dalam biasanya memang sengaja dilakukan untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih, Hendry Chambert-Loir dalam hal ini hanya menjelaskan pernikahan terjadi karena putri majapahit cantik lagi bangsawan. Tetapi, Hendry Chambert Loir kurang kritis dalam menjelaskan kemungkinan-kemungkinan yang mendasari raja malaka menikahi purti majapahit. Bahkan, Hendry Chambert Loir kemudian menjelaskan antara hierarki malaka dan majapahit di tulisan akhir dari bab ini,

Tetapi, lebih dari itu Hendry Chambert Loir sangat cerdas saat harus memberi jarak antara fakta dan fiksi dalam hikayat, sehingga Hendry Chambert-Loir mampu memberikan gambaran konsepsi orang melayu tentang dunia geografis serta kekuatan-kekuatan politik yang mereka hadapi. dia sangat kritis dalam melakukan kritik sumber Hikayat Hang Tuah. bahkan, dia berani menyampaikan argumentasinya, bahwa dalam satu tahap penyusunan teks Hikayat Hang Tuah yang kita kenal sekarang ini, pernah terjadi penyalinan dari berbagai naskah lain.

Tradisi penulisan tradisional, legitimasi kekuasaan raja

Historiografi tradisonal biasanya berisi kisah para raja atau seorang raja tertentu yang terkesan diagung-agungkan. Selain itu dalam historiografi lokal juga memuat tentang asal-usul suatu kerajaan . Pengagungan raja ini dapat dilihat dari beberapa tulisan-tulisan para pujangga masa itu seperti dalam babad tanah jawi ataupun juga dalam kitab pararaton. Dalam Pararaton misalnya banyak membicarakan tentang pengangungan Ken Arok sebagai keturunan Batara Guru, Siwa. Untuk lebih meyakinkan lagi bahwa Ken Arok adalah memang keturunan raja, tulisan dalam pararaton dibuat justru terkesan berlebihan.Hal yang sama juga ditemukan dalam historiografi lokal lainnya, Babad Tanah Jawi. Babad tanah Jawi yang menceritakan tentang asal muasal kerajaan Mataram juga digunakan untuk melegitimasi kekusaan raja saat itu, misalnya silsilah rajanya.

Dalam historigrafi tradisional, pujangga memasukkan mitos ke dalam tulisannya. menurut C.C Berg yang dikutip Soejatmoko, mitos adalah narasi sejarah yang telah memasyarakat. Mitos merupakan citra tentang peristiwa dan kurun sejarah, yang dalam sebagian berasal dari fakta-fakta yang dihasilkan oleh penyelidikan-penyelidikan ilmiah, dalam sebagian lagi berdasarkan interpretasi sementara mengenai fakta-fakta itu, tetapi sebagian lain merupakan hasil konstruksi dasar dari pemuasan kebutuhan individual dan social bawah sadar yang amat dalam. Mitos merupakan alat penolong bagi manusia dalam orientasinya di dunia, berkaitan dengan masa lampau, masa kini dan masa depan dari kehidupannya dan berkaitan dengan kehidupan alam baka. dalam babad, mitos dan symbol memainkan peranan yang lebih penting daripada pararaton. Gambaran jawa mengenai masa lampau telah cukup banyak menyerap mitos India dalam masa kontak cultural India-Jawa. Itulah sebabnya dalam penulisan tradisional, legitimasi kekuasaan yang tertuang dalam silsilah raja- raja jawa biasanya memuat tentang Dewa yang ada di India.

Perspektif “kacamata kuda” yang sering digunakan oleh pujangga keraton untuk menghasilkan karya-karya tradisi itu menjadikan para sejarahwan beranggapan bahwa karya para pujangga yang banyak bersandar pada sesuatu yang terjadi pada masa lalu itu hanya bersifat politis dan bukan historis. Hal ini diperkuat dengan pendapat J.J Ras dalam tulisannya tentang Babad Tanah jawi yang berpendapat bahwa dokumen dinasti seperti babad tidak pernah dapat digunakan sama seperti menggunakan dokumen VOC. Tetapi pendapat ini ditentang oleh M.C. Ricklefs. Menurutnya, semua sumber baik lokal maupun asing harus diperlakukan sama. Yang penting dilakukan adalah perlu diterapkannya kritik sejarah yang normal dan kritis terhadap sumber-sumber tersebut.

Walaupun mempunyai unsur subjektivitas yang sangat kental, Tradisi penulisan tradisioanl yang sering diartikan sebagai karya sastra tidak lantas dapat diabaikan begitu saja. Seperti pendapat Taufik Abdullah yang dikutip Bambang Purwanto, melalui karya sastra kita dapat memahami proses masa lalu dan menagkap kembali struktur waktu dari realitas. Lebih lanjut, Taufik Abdullah menambahkan bahwa karya sastra merupakan pengalaman kolektif pengarang dan merefleksikan susasana waktu ketika karya itu diciptakan. Dengan kata lain, melalui babad, mitos dan jenis tradisi penulisan tradisional yang lain, dapat diketahui pola pikir masyarakat, kondisi social, perekonomian masyarakatnya, bahkan situasi politik pada saat itu.