Sabtu, 30 Juni 2012

Menjadi Penonton di Pentas Sendiri

Mungkin benar yang namanya idealisme hanya hidup di bangku-bangku perkuliahan, saat karakter, jiwa-jiwa muda menggelorakan semangat dan harapan. Dan saya tidak tahu, darimana jiwa ini terbentuk, namun jiwa ini masih lekat menggelantung di setiap jengkal langkah. Rasanya sering sekali saya tergoda, meninggalkan idealisme, lalu dengan mudahnya melebur kotor bersama mereka. Namun, hati kecil saya seringkali menjerit. Jadilah, dalam diri saya kini sebuah pentas pemberontakan antara ya dan tidak. Ya untuk berjalan mengikuti waktu, dan tidak untuk mengkhianati idealisme yang terbangun sendiri, tanpa saya sadari.

Seperti beberapa waktu yang lalu, saat sekumpulan bule menabuh gamelan. Harus saya akui, gendhing yang dihasilkan mereka memang mengalun indah. Tetapi, jika boleh jujur, pentas ini tidak lebih hanyalah pementasan dengan notasi-notasi gending tapi tanpa alunan rasa. Maksudnya, para bule tersebut mempelajari notasi, menabuh gamelan dalam pentas teresebut dengan menghasilkan gendhing yang memang diinginkan tapi, tanpa rasa. Filosofi gamelan yang artinya rasa kebersamaan, tidak terasa dalam setiap alunan gendhing yang dihasilkan itu. Secara kasat mata pengrawit bule itu terlihat kompak , namun entah kenapa saya tidak dapat merasakan “olah rasa” nya.

Namun, bagi sebagian orang, pentas bule ini justu mendapatkan apresiasi yang menurut saya sedikit berlebihan. Sebuah kebudayaan asli, yang hampir hilang digerus jaman, justru sedang dinikmati dan dipelajari orang asing. Sedangkan tanpa perasaan yang lebih peka, penonton yang sebagian besar orang Indonesia tersebut malah bergembira, bertepuk tangan. Tak malukah mereka dengan kondisi ini, dimana kini kebudayaan yang seharusnya mereka kuasai justru dikuasai orang asing.

Tak malukah mereka hanya sebagai penonton di pentas mereka sendiri?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

semangat