Selasa, 06 November 2012

the birth of abangan-the birth of putihan

Pada dasarnya, tidak ada masyarakat tanpa klas. Begitupun, dalam masyarakat jawa. Di jawa, terdapat stratifikasi social yang sebenarnya tidak begitu jelas nampak. Tetapi, dengan tegas, Clifford Geertz berani mengkotak-kotakkan masyarakat jawa menjadi tiga bagian, yaitu Santri, abangan, dan Priyayi. Hal ini disetujui oleh ricklefs dalam artikel yang berjudul “ The Birth of Abangan,” walaupun dengan jelas, Ricklefs lebih sepakat untuk pembagian dikotominya adalah antara putihan dan abangan saja. Karena menurut Ricklefs, kata santri hanya akan mewakili salah satu bagian dari orang alim saja, yaitu bagi mereka yang belajar di pesantren, sedangkan untuk menjadi alim bisa dilakukan tidak hanya dengan belajar di pesantren saja. kata putihan cakupannya bisa lebih luas lagi. Sedangkan abangan, adalah mereka yang dekat dengan unsur-unsur mistis jawa.

Terlepas dari pemikiran Clifford Geertz dan juga Ricklefs, perlu dicermati perkembangan kelompok masyarakat dalam stratifikasi yang terdapat dalam masyarakat jawa, baik abangan maupun putihan, menimbulkan gejolak perubahan social yang sebelumnya tidak pernah ada di abad-abad sebelumnya.

Kaum putihan yang lebih terpelajar dibanding kaum abangan , pada abad 19 berusaha membuat perubahan. Dengan pemahaman yang lebih, dengan ideology islam yang sangat kuat mengakar, kaum putihan kemudian berhasil menggunakan pemahamannya, untuk dijadikan kekuatan untuk melawan kafir. ( baca : barat). Sejak saat itu, kemudian muncullah beberapa gerakan protes di jawa yang beberapa diantaranya menggunakan ideology islam.

Terbukanya terusan zues (1869 ) berakibat semakin banyaknya. Masyarakat yang menunaikan ibadah haji. Dan dari haji-haji inilah kemudian didapatkanlah gagasan Pan Islamisme. Pan Islamisme adalah gagasan untuk menyatukan umat islam dibawah kekhalifahan. Mengadaptasi ideolgi ini, kaum putihan berhasil menanamkan perspektif kepada pribumi, bahwa barat-kolonial adalah kafir yang harus dibasmi. Tidak hanya barat saja, tetapi kroni-kroninya-yang bekerja sama dengan barat harus disingkirkan. Pan Islamisme kemudian di sampaikan para haji kepada ulama sehingga gagasan tersebut dapat di teruskan lagi ke lapisan yang lebih bawah.

Oleh karena itu, di tahun-tahun tersebut terjadi transformasi kaum putihan. Pada masa itu, ulama sudah merupakan salah satu penggerak adanya perubahan social pada masa itu. Dialah broker- seperti dikatakan kuntowijoyo. Dialah broker kekuatan social dan politik masyarakat. Sementara para haji, berfungsi sebagai “kaum intelektual” dan broker kebudayaan bagi massa desa. Sementara para petani dan pedagang , bertindak sebagai pendukung dan pengikut yang setia, yang berada di lapisan terbawah di dalam struktur itu.

Memberi benang merah antara tulisan Clifford Geertz, Ricklefs serta Fahri Ali, bahwa teori yang dikemukakan oleh Clifford Geertz yang pada awalnya diragukan substansinya, ternyata teori tersebut masih sangat relevan jika digunakan untuk mengkaji masyarakat jawa bahkan sampai sekarang pun. Tentu saja, di setiap jamannya teori ini mengalami sedikit pergeseran. Berkenaan dengan semakin berkembangnya peradaban, masyarakat jawa yang di kaji pun semakin hari semakin kompleks. Jika pada awalnya dikotomi antara santri, abangan, dan priyayi hanya didasarkan pada cirri-ciri fisik atau kesehariannya, pada abad 19-dan permulaan abad ke 20, dikalangan santri-putihan-pada khususnya—sudah memiliki peran di kehidupan politik. Sedangakan, sekarang masih ditemukan sisa-sisa pemikiran Clifford Geertz di beberapa tempat di jawa tersebut. Jika kita bicara tentang abangan, tentu saja tidak bisa dilepaskan dengan kejawen, jika kita bicara tentang santri—putihan tentu saja sekarang banyak sekali ditemukan banyak masyarakat Indonesia yang bisa digolongkan dalam santri ini. Dan jika kita menanyakan tentang elit priyayi, tentu saja, di jawa, di Surakarta maupun di Jogjakarta misalnya masih bisa ditemukan elit ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

semangat