Senin, 26 November 2012

Sisi lain kota kolonial : yang tersisa dari sumbangsih perempuan di Batavia

Sejak awal pembentukannya sebagai kota, Batavia dijadikan pusat penguasa kolonial di Hindia Belanda. Konfigurasi penduduk beserta wilayah pemukimannya sudah berkiblat pada bentuk kemajemukan. Kebiijakan kolonial menetapkan bahwa wilayah-wilayah tertentu dipakai untuk pemukiman penduduk sesuai asal daerahnya. Ada tiga cirri yang perlu diperhatikan untuk dapat memahami struktur ruang lingkup sosiol kota kolonial, yaitu budaya, teknologi dan struktur kekusaan kolonial . Yang patut dicatat dalam usaha Belanda untuk merubah wajah kota adalah adanya Modernisasi di kota Batavia. Modernisasi menjadi hal yang tidak dapat ditawarlagi karena Belanda sengaja ingin menciptakan sebuah kota yang mirip dengan kampong halamannya. Tidak hanya fisiknya saja yang berubah, namu modernisasi yang dibawa dari Belanda juga ikut mempengaruhi gaya hidup sehari-hari masyarakat perkotaan.

Modernisasi yang dibawa Belanda, justru memunculkan budaya baru. Lazimnya, budaya yang muncul pada kota kolonial disebut dengan kebudayaan indis. Budaya ini masih dapat ditemui pada beberapa bangunan yang tersisa dari masa kolonial. Tidak hanya dari sisi arsitektur saja, budaya indis masih dapat dilihat dari mode pakaian atau dari masakan. Tetapi, orang kemudian lupa, bagaimana sebuah kebudayaan bisa muncul, berkembang dan mampu hidup dengan orang-orang masa kini. Sebelum, budaya indis itu muncul, terdapat interaksi yang melibatkan kaum perempuan. Bukan berarti yang melahirkan budaya indis adalah kaum perempuan, hanya saja, perempuan mempunyai peran yang penting dalam terjadinya interaksi antara budaya kolonial dengan budaya pribumi. Interaksi ini menjadi sebuah awal bagaimana sebuah kebudayaan itu saling bertukar unsur atau justru saling bersentuhan.

Pada abad ke 19, sebagian besar laki-laki eropa dan Cina tidak menikahi perempuan lokal yang memiliki hubungan seksual dengan mereka, tapi hubungan seks di luar nikah dan pergundikan sepertinya lebih lazim terjadi. Prostitusi diakui terjadi secara resmi melalui system yang terkendali. Memelihara nyai atau pengurus rumah merupakan hal yang dapat diterima dalam komunitas Eropa dan Cina. Hubungan semacam ini memang tidak pernah disebut-sebut dalam masyarakat Batavia kelas atas, tapi secara tidak resmi hubungan ini dianggap lazim. Banyak tentara eropa tidak mampu menikahi perempuan Eropa, namun mereka memiliki hubungan yang stabil dengan para nyai. Hal ini dianggap lebih baik daripada mereka mengunjungi rumah bordil. Lagipula, dengan cara ini mereka dapat mempelajari bahasa melayu yang merupakan unsur penting dalam hubungan bisnis dan resmi di Batavia. Perempuan-perempuan lokal yang terlibat dalam pergundikan sangat berpengaruh dalam memperkenalkan tradisi-tradisi lokal kepada tuan mereka. Pada saat yang sama, mereka bertindak sebagai perantara budaya dalam masyarakat hindia belanda di Batavia.

Walaupun mereka tidak bisa menikahi tuan-tuan asing mereka, atau terpaksa meninggalkan pelayanan ketika tuan-tuan asing ini kembali ke kampung halamannya, menikah di tempat lain, atau memberhentikan mereka karena mengandung anak yang tidak diinginkan, para nyai biasanya mendirikan bisnis sendiri atau mencari suami baru dari etnis lain dan memperkenalkan gaya hidup baru yang mereka dapatkan dari hubungan pergundikan. Seorang bangsawan Jawa yang berkunjung ke Batavia pada 1869 beranggapan bahwa orang Indonesia di kota ini telah dipengaruhi oleh kebiasaan asing, seperti menggunakan meja dan kursi . Selain menjadi gundik, perempuan pribumi juga dijadikan juru masak, pengasuh anak dan penjahit memberikan pengaruh yang cukup besar dalam terjadinya percampuran budaya Belanda dengan budaya pribumi. Juru masak umumnya mampu menyediakan masakan pribumi juga masakan Eropa. Pada abad 19, rijsttafel menjadi makanan sehari-hari. Para pengasuh berbicara dengan anak-anak Eropa dalam bahasa Melayu, mengajarkan lagu, dan cerita rakyat, serta membesarkan anak dengan cara yang mereka ketahui. Peran para perempuan sebagai pemersatu terlihat jelas disini. Perempuan Eropa atau para gundik menggunakan cenderung menggunakan kebaya putih dengan tepi berenda, sedangkan kebaya perempuan pribumi memiliki ujung runcing, sarung batik mereka pun mempunyai pola tersendiri. Jika peran perempuan pribumi hanya sebatas pada pekerjaan rumah tangga saja, Perempuan- perempuan Eurasia telah menulis buku panduan rumahtangga yang diterbitkan di akhir abad ke-19 mengenai resep masakan dan obat-obatan Hindia.

Kehadiran orang belanda di Batavia disadari telah mempengaruhi gaya hidup masyarakat

Terciptanya sebuah budaya indis tidak terlepas dari peran seniman, arsitek, cendekiawan, rohaniawan dari negri Belanda. (Tetapi, hal ini tidak lantas mengabaikan peran dari pribumi,( dalam bahasan ini perempuan) setempat. Perempuan adalah perantara yang memungkinkan pertukaran persentuhan, serta akulturasi dua kebudayaan yang sangat berbeda.

Bahan bacaan : Djoko Soekiman. Kebudayaan Indis. 2011. Jakarta : Komunitas Bambu Blackburn, Susan. Jakarta sejarah 400 tahun. 2011. Jakarta : Komunitas Bambu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

semangat