Selasa, 06 November 2012

Menelusuri jejak-jejak cultuurstelsel : beberapa catatan yang tidak layak terbit ?

Banyak sekali buku maupun artikel mengenai Cultuurstelsel yang isinya menggungat tentang kebijakan yang dicetuskan oleh belanda tersebut. Cultuurstelsel selalu diartikan dengan tanam paksa. Padahal jika dilihat dari segi bahasa, istilah “tanam paksa” bukanlah merupakan terjemahan yang tepat untuk cultuurstelsel, yang tepat mestinya adalah Sistem Budidaya tanaman. Tetapi dari segi realitas - menurut P. Swantoro, istilah tanam paksa tepat sekali untuk menerjemahkan culturstelsel. Hal sama juga diungkapkan oleh Peter Boomgard, yang menulis bahwa pada saat diterapkannya cultuurstelsel, masyarakat jawa kurang mendapat rangsangan memadai untuk menghasilkan tanaman perdagangan bagi pasar Eropa, sehingga petani-petani jawa harus dibujuk ( baca : dipaksa) untuk menggunakan sebagian dari tanah garapannya dan sebagian dari tenaga kerjanya untuk membudidayakan kopi, nila dan gula. Begitupula dengan Sartono Kartodirdjo yang amat jelas mengungkap bagaimana bobroknya system yang ditepakan pada rakyat ini. Menurut Sartono, hakikat cultuurstelsel adalah bahwa penduduk sebagai ganti membayar pajak tanah sekaligus, harus menyediakan sejumlah hasil bumi untuk ekspor seperti yang diinginkan pemerintah. Serangan akan cultuurstelsel juga datang dari seorang asisten residen di Lebak, Edward Douwes Dekker yang melayangkan gugatan dalam sebuah novel yang berjudul Max Havelar. Dalam halaman terakhir novel itu, multatuli-begitu nama samarannya, menulis, “Dan kepada tuan saya mempersembahkan buku ini, Willem III, raja, adipati besar, pangeran dan kaisar dari Insulinde yang cantik dan kaya, Jamrud Khatulistiwa, karena di tempat itu lebih dari 30 juta rakyatmu dianiaya dan diperas atas nama tuan,”.

Begitulah sejarah cultuurstelsel selalu ditempatkan sebagai bagian sejarah kelam Hindia Belanda. Di beberapa buku atau artikel yang telah diterbitkan kebanyakan membahas tentang dampak negative cultuurstelsel bagi rakyat Hindia Belanda. Padahal jika membaca artikel dari C. Fasseur yang berjudul The Cultivation system and its impact on the dutch colonial economy and the indigenous society in nineteenth century in java, cultuurstelsel tidak selalu menimbulkan dampak buruk. C. fasseur mengungkapkan bahwa di daerah tertentu misalnya di Jawa Timur, system ini justru dapat meningkatkan kemakmuran. Ledakan penduduk yang terjadi pada masa itu, menurut C. Fasseur juga merupakan kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa saja disebabkan oleh “the Cultivation system”.

Senada dengan apa yang diungkapkan C. Fasseur, Denys Lombard mengungkapkan bahwa peningkatan jumlah penduduk merupakan suatu gejala yang jauh lebih luas yang terdorong oleh konjungtur luar biasa dari dua revolusi siderurgi ( pengolahan besi ) dan revolusi kesehatan. Jika Eropa mengalami revolusi siderurgi sejak abad ke-11 bersamaan dengan pembukaan hutan secara besar-besaran dan revolusi kesehatan sejak abad ke 18. Di jawa- menurutnya- kedua revolusi itu terjadi serempak, yang memang merupakan akibat tidak langsung dari sitem kolonial, tetapi tanpa disadari oleh penguasa kolonial.

Fakta lain yang terungkap mengenai cultuurstelsel dapat ditemukan dalam tulisan A.M Djuliati Suryo, dalam bukunya ia mengunggap tentang cultuurstelsel di daerah Kedu. Menurutnya, System cultuurstelsel dianggap lebih maju dibanding dengan system feodal di mataram. Selain tanah, tenaga kerja dan modal rakyat, pemerintah memasukkan unsur-unsur baru seperti organisasi produksi, modal, tekologi barat (pabrik-pabrik) dan pengusaha swasta. Cultuurstelsel mulai dilaksanakan di Kedu sejak tahun 1831 dengan penanaman kopi secara besar-besaran yang juga menngerahkan tenaga rakyat. Hal ini ternyata mengakibatkan pembangunan berantai untuk mendukung usaha besar ini. Terjadilah suatu pembangunan berantai untuk mendukung usaha besar ini. Jalan-jalan penting perlu diperkeras atau diperlebar demi kelancaran arus angkutan kopi. Apabila di tahun 1812 jalan raya di Kedu hanya 45 km, tanpa fondasi dari batu, tahun 1870 jalan tersebut telah menjadi 216 km dengan fondasi batu dan kerikil sebagai pengeras.

Setiap kebijakan sudah pasti menimbulkan pro dan kontra, begitu juga dengan kebijakan cultuurstelsel. Yang menarik, ternyata cultuurstelsel adalah sebuah kebijakan kelam yang sudah terlanjur lekat dalam memori kolektif bangsa Indonesia. Sehingga belum begitu banyak ditemukan tulisan-tulisan yang mengungkap tentang sisi lain dari Cultuurstelsel. Padahal, bisa saja, fakta dilapangan tidak selalu seperti itu (seperti apa yang terungkap dari tulisan dari C. Fasseur). Kemudian, muncul sebuah pertanyaan mendasar. Apakah yang sebenarnya terjadi pada masa cultuurstelsel?benarkah kebijakan tersebut hanya memberikan dampak negative bagi rakyat? Ataukah mungkin, ada yang sengaja ditutup rapat dari penulisan-penulisan terdahulu yang terlanjur buta dengan nasionalisme yang terlalu berlebihan.

Bahan bacaan : C. Fasseur . The Cultivation system and its impact on the dutch colonial economy and the indigenous society in nineteenth century in java P. Swantoro. Dari buku ke buku : sambung menyambung menjadi satu. Jakarta. KPG. 2002 Boomgard, Peter. Anak Jajahan Belanda.jakarta. KITLV.2004 Sartono, kartodirdjo. Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah pergerakan nasional. Jakarta . PT Gramedia, 1990 Lombard, Denuys. Nusa Jawa : Silang Budaya batas-batas pembaratan. Jakarta. Gramedia pustaka utama. 1996 A.M. Djuliati Suroyo. Eksploitasi kolonial abad XIX. Yogyakarta. Yayasan untuk Indonesia, 2000 Multatuli. Max Havelaar. Bandung. Percetakan Karya Nusantara. 1972

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

semangat